Asal Usul Kota Pontianak (Kalimantan Barat)
Kota Pontianak adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Barat di Indonesia. Kota ini terkenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis lintang nol derajat bumi. Di utara kota ini, tepatnya Siantan, terdapat monumen atau Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang tepat dilalui garis lintang nol derajat bumi. Selain itu Kota Pontianak juga dilalui Sungai Kapuas yang adalah sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas membelah kota Pontianak , simbolnya diabadikan sebagai lambang Kota Pontianak.
Tugu Khatulistiwa di Pontianak
RIWAYAT ORANG YANG MEMBUKA KOTA PONTIANAK
Menurut sejarah, empat orang pemuda penduduk kota Trim HadramautNegeri Arab, masing-masing bernama Al Habib Husin berumur 18 tahun, Al saijid Moehammad bin Achmad Guraisj, bersepakat memenuhi anjuran Guru pengajiannya untuk pergi merantau keluar Negeri Arab guna menyebarkan Syari'at Islam dengan tujuan ke daerah sebelah Timur tempat terdapat negeri-negeri yang subur dan tanahnya banyak tumbuh pohon yang menghijau. Setelah keempat pemuda Trim tersebut meniggalkan negeri Arab, maka negeri pertama yang disinggahinya adalah Trengganu (negera bagian Malaysia sekarang); di Trengganu inilah keempat pemuda tersebut berpisah-pisah dengan tujuan masing-masing, Al Saijid Umar Assagaf masuk ke Negeri Siak dan mengajar agama, Al Saijid Moehammad bin Achmad Guraisj memilih menetap di Trengganu mengajar Syari'at Islam. Saijid Abubakar Idrus dan Al Habib Husin menuju ke aceh, di Aceh mereka mengajar Hukum Syara dan Syari'at Agama.
Tiada berapa lama di Aceh, Al Habib Husin pergi ke Betawi selama 7 bulan (tujuh bulan) lalu terus pergi ke Semarang. Al Habib bertemu dengan seorang yang bernama Syekh Salim Hambal dan tinggal bersama-sama di tempat Syekh Salim Hambal. Setelah dua tahun tinggal di Semarang maka Al Habib Husin bermaksud akan keluar dari Semarang menuju kesebelah Timur, dimana memenuhi petunjuk dari gurunya di mana banyak pohon-pohon yang berdaun hijau, di situlah Al Habib Husin akan menetap.
Maksud Al Habib Husin disampaikan kepada Syekh Salim Hambal dan atas anjurannya sebaiknya ia pergi saja ke Negeri Matan, karena negeri Matan itupun sebelah Timur dan tanahnya subur. Maka dengan saran-saran dari Syekh Salim Hambal ini diterima oleh Al Habib Husin. Tiada berapa lama maka berlayarlah Al Habib bersama dengan Syekh Salim Hambal kenegeri Matan. Setibanya di Matan, AL Habib Husin bertemu dengan seorang bernama Saijid Hasyim bin Yahya. Orangnya dikenal berani dan jika ia berjalan senantiasa membawa tongkat besi yang beratnya kira-kira delapan kati. Ciri-ciri khas dari Saijid Hasyim ialah memelihara janggut yang selalu dipacarnya, sehingga janggut tersebut berwarna merah.
Oleh orang-orang Matan Saijid Hasyim dikenal dengan panggilan "Tuan Janggut Merah". Saijid Hasyim terkenal sebagai seorang fanatik. Kedatangan Al Habib Husin terdengar oleh Raja Matan maka pada suatu hari Raja Kerajaan Matan berhasrat untuk menjamu sebagai perkenalan dan penghormatan kepada Al Habib Husin yang baru datang, untuk menyebarkan Syari'at Agama Islam.
kacip-pembelah-pinang
Setelah para undangan hadir dan duduk pada majelis besar tersebut sebagaimana lazim setiap perjamuan maka diangkatlah tempat sirih sebagai adapt. Pada tempat sirih tersebut selain kelengkapan sirih terdapat pula sebuah kacip pembelah pinang yang berbentuk kepala burung. Setelah Saijid Hasyim sebagai orang yang fanatik melihat kacip tersebut, lalu diambil dan dipatah-patah kacip tersebut dengan tangannya. Perbuatan itu membuat Raja Matan dan majelis serta Al Habib Husin bermuram durja.
Dengan tidak diduga oleh majelis maka Al Habib Husin membuat sekapur sirih dari tempat sirih tersebut sambil berdoa dan mengambil kacip yang telah dipatah-patahkan itu dan dipjit-pijitnya dengan air sirih dan dengan Rahmad Kodrat Allah Ta'ala kacip tersebut kembali dengan keadaannya sebagai sedia kala. Melihat hal tersebut sekalian majelis dan Raja Matan merasa takjub dan gembira, untuk selanjutnya perjamuan dilanjutkan sehingga berakhir dengan penuh khidmad. Setelah kembali Al Habib Husin ke rumahnya masing-masing, maka Raja Matan bermusyawarah dengan sekalian menteri-menterinya.
"Begaimana pendapat kalian tentang perbuatan Saijid Hasyim yang walaupun ia telah lama tinggal di negeri Matan, tetapi karena terlalu fanatik sehingga banyak merusak dalam negeri, berlainan dengan Al Habib Husin, walaupun baru datang tetapi ia dapat membuktikan dan memperbaiki barang-barang yang rusak, oleh karenanya wahai para menteri, manalah yang lebih baik kita ikuti atau tiru ajarannya."
Maka oleh menteri-menteri dijawab sebaiknya kita mengikuti ajaran Al Habib Husin. Kemudian Raja Matan menyerahkan kepada Al Habib Husin untuk memangku jabatan Mufti Peradilan Agama dan penyebar Syariat Agama Islam.
Oleh karena dalam segala tindakan Al Habib Husin dalam menjalankan tugasnya betul-betul bertindak adil dan jujur sesuai dengan ajaran agama Islam maka Raja Matan beserta seluruh rakyatnya sangat malu dan hormat kepada Al Habib Husin. Tiada berapa lama maka Al Habib Husin dikawinkan oleh Raja Matan dengan seorang putri bernama Nyai Tua. Dari perkawinan ini Al Habib Husin memperoleh anak pertama perempuan bernama Syarifah Khatijah dan anak kedua laki-laki bernama Syarif Abdurachman dan anak ketiga perempuan bernama Syarifah Aluyah, anak keempat laki-laki bernamaSyarif Alwi.
Menurut cerita Al Habib Husin di negeri Matan telah tiga kali beristri tetapi tidak pernah memadukan istri-istrinya melainkan perkawinan yang dikenal dengan istilah "Ganti Tikar". Dari istri yang kedua dan ketiga inipun memperoleh enam orang anak. Selama ia di Matan dalam memangku jabatan sebagai Mufti namanya tersebar luas ke seluruh kerajaan-kerajaan lain, sehingga tibalah suruhan dari Raja Mpu Daeng Menambon untuk meminta kepada Al Habib Husin agar mau ke Mempawah mengajar agama Islam. Permintaan Raja Mempawah ini belum dapat dipenuhi oleh Al Habib Husin karena ia merasa bertanggung jawab dan merasa dikasihi oleh Raja Matan, dengan ini permintaan Raja Mempawah belum dapat dipenuhi. Tetapi pada suatu ketika tidak berapa lama kemudian tiba-tiba datanglah suatu perahu Lancang dari Negeri Siantan dengan nahkodanya bernama Ahmad membawa dagangan ke Negeri Matan.
Tibanya Ahmad di Matan telah melakukan suatu perbuatan yang tidak patut terhadap perempuan sehingga menimbulkan kemarahan Raja Matan sehingga nahkoda Ahmad akan dibunuh, tetapi mengingat Raja Matan telah menyerahkan tanggung jawab peradilan kepada Al Habib Husin maka niat untuk membunuh nahkoda Ahmad tidak terlaksana, dan perkara nahkoda Ahmad diserahkan kepada Al Habib Husin. Oleh Al Habib Husin diputuskan bahwa nahkoda Ahmad tidak dihukum bunuh, tetapi dengan hukuman denda uang saja dan nahkoda Ahmad disuruh bertobat memohon ampun kepada Raja Matan, yakni sebagai hukum Ta'zir. Keputusan Al Habib Husin itu diterima oleh Raja Matan walaupun keputusan itu bertentangan dengan keinginannya.Setelah menerima keputusan tersebut nahkoda Ahmad memohon kepada Raja Matan untuk pulang ke Negeri Siantan, dan permohonan nahkoda Ahmad dikabulkan. Tetapi secara diam-diam Raja Matan memerintahkan kepada dua buah perahu dan laskarnya untuk menyerang perahu nahkoda Ahmad. Dalam penyerangan tersebut nahkoda Ahmad terbunuh di Muara Kayung Matan. Berlakunya kejadian tersebut didengar oleh Al Habib Husin maka Al Habib Husin merasa kecewa atas perbuatan dan dendam dari Rajanya yang tidak teguh menurut Syari'at Muhammadiyah.
Kekecewaan Al Habib Husin itu membuat ia menulis surat kepada Raja Mempawah Mpu Daeng Menambon yang menyatakan kesediaanya untuk hijrah ke Mempawah. Dan jika menerima Al Habib Husin minta dibuatkan sebuah rumah dan surau yang terletak di Kuala dimana penghabisan pohon nipah.
Setelah Raja Mempawah Mpu Daeng Menambon menerima surat Al Habib Husin dan maklum akan isinya, untuk memenuhi permintaan tentang permbuatan rumah dan surau, maka Raja Mempawah Mpu Daeng Menambon berangkat sendiri mencari tempat yang dihajatkan oleh Al Habib Husin dengan diiringi oleh anak cucu serta Menteri-menterinya dan pencarian tersebut, Raja Mempawah menemui tempat yang dimaksud oleh Al Habib Husin pohon nipah dan tempat tersebut bernama "GALAH HIRANG".
Dengan serta merta pada tempat tersebut didirikan Rumah dan Surau yang dimaksud. Setelah selesai pembuatan Rumah dan Surau maka Raja Mempawah menyuruh anaknya yang bernama Gusti Haji Gelar Pangeran Mangku untuk pergi ke Matan dengan membawa dua buah perahu besar untuk menjemput Al Habib Husin dan mempersembahkan rumah dan surau yang telah diperbuat di Galah Hirang itu.
Setibanya di Matan utusan Raja Mempawah diterima dengan baik oleh Al Habib Husin dan berangkatlah ia dari Matan ke Mempawah pada tahun 1160pada delapan hari bulan Muharram dengan iringan 5 buah perahu yaitu 2 buah perahu Raja Mempawah yang mengambil dan tiga buah perahu Raja Matan yang mengantar. Menurut cerita Al Habib Husin di Matan setelah 17 tahun baru pindah ke Mempawah, dalam kepindahan tersebut Syarif Abdurachman berusia 18 tahun Al Habib Husin bermaksud akan mengawinkan Syarif Abdurachman dengan puteri Raja Mempawah bernamaUtin Tjandramidi, menurut cuplikan dalam kisah pinangan Al Habib Husin terhadap putri Raja Mempawah dirasakan berat untuk menerima tetapi untuk menolak pinangan Al Habib Husin sebagai guru yang mengajar Agama Islam sangat dihormati, maka terpikirlah oleh Raja Mempawah Mpu Daeng Menambon untuk mencari alasan atas pinangan Al Habib Husin terhadap putrinya Utin Tjandramidi.
Maka terpikirlah oleh Raja Mempawah dengan membuat alasan yaitu diminta maharnya seribu buah pahar (tempat hidangan makan). Mahar yang diajukan Raja Mempawah ini diluar dugaannya dapat dipenuhi oleh Al Habib Husin sehingga Raja Mempawah Mpu Daeng Menambon sangat terkejut atas dipenuhinya mahar yang diminta. Oleh Al Habib Husin, janji wajib ditaati karena barang yang ditetapkan sebagai mahar sudah dipenuhi oleh Al Habib Husin, maka pinangan Al Habib Husin oleh Raja Mempawah Mpu Daeng Menambon diterima, dan Syarif Abdurachman dikawinkan dengan putri Utin Tjandramidi.
Selama Al Habib Husin tinggal di Mempawah, puteranya Syarif Abdurachman selalu merantau yaitu ke pulau Tambelan, Pulau Siantan Palembang danBanjar. Di Banjar, Syarif Abdurachman kawin lagi dengan putri Sultan Saat yang bernama Ratu Syahranun dan oleh Sultan Banjar Syarif Abdurachman diangkat menjadi Pangeran Syarif Abdurachman Nur Alam. Setelah dua tahun di Banjar kembali ke Mempawah, kemudian berangkat lagi dari Mempawah ke Banjarselama 4 tahun baru pulang ke Mempawah dan setibanya di Mempawah didapatinya bahwa Ayahnda Al Habib Husin telah wafat pada Hijrah Sannah 1184 tahun Waw tiga hari bulan Zulhijah pukul dua hari Arba'a, dimakamkan di Mempawah kampung Galah Hirang.
Setelah tiga bulan ia berada di Mempawah maka Syarif Abdurachman bermusyawarah dengan saudara-saudaranya antara lain Syarif Alwi, Syarif Abubakar dan Syarif Hamid Bah'bud. Musyawarah ini bertujuan untuk keluar dari Mempawah mencari tempat kediaman yang baru. Setelah permufakatan disetujui maka berangkatlah Syarif Abdurachman dengan saudara-saudaranya serta pengikutnya dengan memakai 14 (empat belas) perahu yang bernama "KAKAP" menyusuri sungai, dan menurut cerita, Syarif Abdurachman dan rombongan sungai yang pertama dimasuki adalah Sungai Peniti. Dalam menyusuri Sungai Peniti di waktu Dhohor sampai disebuah tanjung dimana Syarif Abdurachman dan pengikutnya bersembahyang zuhur di Tanjung tersebut dan menginap disuatu tempat yang sekarang terkenal dengan nama"KELAPA TINGGI SEGEDONG".
Dalam penginapan di tempat tersebut Syarif Abdurachman mendapat alamat yang tidak baik bahwa pada tempat tersebut tidak baik untuk dibuat tempat tinggal, maka rombongan memutuskan keluar Sungai Peniti menyusuri Mudik ke hulu. Menurut kisah di mana Tanjung tempat Syarif Abdurachman sembahyang dhohor itu dikenal dengan nama Tanjung Dhohor.Dalam menyusuri sungai besar ke hulu (Sungai Kapuas, sekarang) diketahui sebuah pulau yang sekarang dikenal dengan nama "Batu Layang". Sesampai di pulau tersebut rombongan Syarif Abdurachman mulai mendapat gangguan-gangguan dari hantu Pontianak, dengan kejadian tersebut Syarif Abdurachman memerintahkan kapada pengikutnya untuk menembah memerangi hantu-hantu Pontianak itu. Sambil menyusuri sungai, rombongan Syarif Abdurachman pada subuh hari tanggal 14 hari bulan Rajab Tahun 1184 H sampai dimuara atau dipersimpangan sebuah sungai yang sekarang terkenal dengan persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Masjid pertama yang dibangun di kota Pontianak ini terletak tepat di sisi sungai Kapuas, berhadapan dengan Keraton Kadariyah. Dibangun oleh pendiri kota Pontianak, Sultan Syarif Abdurrahman pada tahun 1771
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Mesjid Jami dan Keraton Kadariah.
Keraton Kadariah
Latar belakang dan sejarah mengapa Syarif Abdurachman Nur Syah Alam memutuskan membuat tempat di Tanjung persimpangan muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak tidak lain adalah Syarif Abdurachman meyakinkan tempat yang dibangun ini di kemudian hari dapat berkembang sebagai kota perdagangan dan pelabuhan, dengan kegiatan pembangunan yang diusahakan oleh Syarif Abdurachman dan kebijaksanaannya Syarif Abdurachman membangun negeri hingga banyaklah pendatang-pendatang bukan saja dari perhuluan melainkan dari kerajaan lain seluruh Nusantara kita yang menetap di tempat yang dibuka oleh Syarif Abdurachman dan menjadi penduduk.
Syarif Abdurachman berhasil mengatur, memimpin perkembangan kota dan penduduk sehingga menurut ceritanya pada tanggal 8 bulan Sya’ban 1192 Hijriah hari isnen dengan dihadiri oleh Raja Mempawah Muda Riau dan Raja Mempawah, Landak, Kubu Matan dinobatkanlah Syarif Abdurachman Ibnu Al Habib Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Di bawah kepemimpinannya kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang cukup disegani.
Selanjutnya pada Hijrah Sannah 1194 bersamaan pada tahun 1773 masuk dominasi Kolonialis Belanda yang datang dari Betawi yaitu Assisten Residen Rembang nama Williem Ardipoln, dan mulai pada masa tersebut dimulai berdiam Bangsa Belanda di Pontianak yang terkenal dengan tanah Seribu selanjutnya berkembang terus. Dan menurut tulisan-tulisan bahwa baru pada 5 Juli 1779 O.I.Compagnic membuat persetujuan dengan Sultan Pontianak dan Sultan Abdurachman Ibnu Al Habib Husin Alkadrie Wafat pada tanggal 28 Pebruari 1808. Demikianlah berakhirnya riwayat permbukaan Kota Pontianak yang kita cintai.
+++++++++++++++++
CATATAN TAMBAHAN
- Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan Belanda, VJ. Verth, dalam bukunya Borneos Wester Afdeling, yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini. Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi), dari Betawi. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), setelah meninggalkan kerajaan Mempawah mulai merantau. Di Banjarmasin , ia menikah dengan adik sultan bernama Ratu Sarib Anom. Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya. Kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Dengan bantuan Sultan Passir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Passir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur, dan Pontianak berdiri.
- Menurut cerita mitos yang beredar di masyarakat, kononPontianak itu dulunya sangat seram, semuanya hutan belantara dengan penduduk asli yang sangat sedikit. Dan konon hantu Pontianak (maksudnya Kuntilanak) paling suka berkeliaran. Karena itu dinamakan Pontianak, dalam mitos itu juga diceritakan tradisi orang Ponti setiap bulan puasa pasti ada semacam festival meriam. Acara ini sudah ada sejak dulu sampai sekarang konon untuk mengusir hantu Kuntilanak.
- Kuntilanak (bahasa Melayu: puntianak, pontianak) adalah hantu yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia atau wanita yang meninggal karena melahirkan dan anak tersebut belum sempat lahir. Nama “kuntilanak” atau “pontianak” kemungkinan besar berasal dari gabungan kata “bunting” (hamil)dan “anak”.
2 komentar:
terlalu otentik atau sangat berbau sejarah mi, coba dibikin seperti cerita kayak buku yg kita baca wktu kecil dulu asal usul kota pontianak, setiap bacanya merinding dulu, but nice share
Siap Bos...
hehee..
Nice Comment..
Posting Komentar